K.H. Athian Ali M. Da’i, LC., MA. : Peristiwa Isra Miraj Harus Semakin Membuat Kita Yakin Bahwa Tidak Ada yang Mustahil Bagi Allah SWT

JABARPASS – Ulama kondang yang juga Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), KH. Athian Ali M. Da’i, LC., MA. menjadi penceramah dalam peringatan Isra Miraj yang digelar di Masjid Al Hikmah Komplek Permata Biru, Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kab. Bandung, Provinsi Jawa Barat, Ahad, 26 Januari 2025.

Dalam tausiahnya yang bertemakan, “Semangat Isra Miraj Wujudkan Generasi Taat Beribadah”, Athian membukanya dengan membaca surat Al Israa (17) ayat 1 yang artinya,”Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Menurut Athian, peristiwa Isra Miraj ini termasuk dalam perkara yang ghaib yang harus diterima oleh keimanan terlebih dahulu sebelum akal. Ketika peristiwa Isra Miraj terjadi, maka pada saat itu sempat menghebohkan, bahkan sempat pula melahirkan tuduhan orang-orang musyrikin yang semakin gencar yang menuduh Nabi Muhammad SAW itu adalah orang gila.

Hal ini juga sempat mempengaruhi orang-orang Islam pada saat itu. Ketika berita ini sampai kepada Abu Bakar Ash Shidiq Ra dan masyarakat Kota Mekah waktu itu meminta bagaimana pandangannya, maka hanya satu pertanyaan yang dia ajukan kepada para sahabat. “Dari mana kalian mendengar terjadinya peristiwa ini? Kata para sahabat, kami mendengar dari Rasulullah SAW”. Lalu Abu Bakar Ra mengatakan, kalau dalam hal ini yang mengatakan Rasulullah SAW, maka kalian tinggal meyakininya saja.

“Kendati sudah jelas masalah Isra Miraj ini berkaitan dengan masalah keimanan, namun kita tetap masih saja bisa menyaksikan tidak sedikit di antara saudara-saudara kita yang tertarik untuk tetap mempersoalkan peristiwa Isra Miraj dengan pendekatan akal,” ungkap Athian.

Ia menambahkan, sebenarnya tidaklah salah sepenuhnya, tetapi karena kurang pada tempatnya kita dalam menempatkan posisi akal. Maka seringkali diskusi-diskusi atau seminar-seminar yang diselenggarakan ini tidak mencapai yang diharapkan.

Ia mencontohkan, masih sering dipersoalkan oleh sebagian orang, apakah peristiwa Isra Miraj Rasulullah SAW itu hanya sekadar ruhnya ataukah ruh sekaligus jasadnya? Kalau dikatakan kepada mereka bahwa peristiwa ini hanya ruh Nabi Muhammad SAW, maka biasanya mereka akan mengatakan di mana letak kebesaran peristiwa itu karena terkesan hampir tidak jauh berbeda dengan mimpi.

Tapi kalau dikatakan kepada mereka, bahwa peristiwa itu terjadi bukan hanya ruh Nabi Muhammad SAW saja, tapi ruh sekaligus dengan jasadnya, maka sebagian besar mereka akan mengatakan, bagaimana hal itu bisa terjadi? Menurut mereka, bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW itu bisa pergi-pulang Isra dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsha (Yerusalem) yang kemudian mi’raj melewati sekian lapis langit untuk sampai ke Sidratul Muntaha hanya ditempuh dalam waktu satu malam?

Padahal menurut penelitian, bila saja manusia keluar dari perut bumi ini tidak mungkin bisa hidup jika tidak dibekali oksigen. Sementara tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW itu dalam Isra Miraj-nya dibekali tabung yang berisi oksigen.

Kalau kemudian dikatakan kepada mereka bahwa hendaknya ini tidak diukur dengan kemampuan manusia bernama Muhammad, tetapi hendaknya diukur dengan pendampingnya adalah Malaikat Jibril yang notabene malaikat yang diciptakan dari cahaya, maka mereka masih akan berdalih lagi dengan mengatakan, kecepatan cahaya saat ini sudah bisa diukur oleh manusia.

Hal ini pun menurut mereka tidak mungkin karena perjalanan sejauh itu hanya ditempuh dalam satu malam. Maka tambah hangatlah diskusi mereka. Inilah merupakan penyakit kronis dari sebagian kehidupan masyarakat kita manakala ada suatu perintah dan larangan dari Allah SWT yang sudah jelas perintah dan larangan-Nya, mereka tidaklah segera melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya, malah disibukkan hanya mendiskusikannya.

Sementara pendapat sebagian besar ulama menyatakan, bahwa peristiwa ini terjadi sekaligus ruh dan jasad Nabi Muhammad Saw. Alasan yang mendasarinya karena memang sangat jelas ayatnya menyatakan, Subhaanalladzii asraa bi ‘abdihii.

Pengertian “Abdun” pada ayat ini adalah hamba. Adapun yang dinamakan seorang hamba Allah berarti termasuk ruh dan jasadnya. Demikian pula, diri kita ini termasuk hamba Allah yang tentunya termasuk juga di dalamnya ruh dan jasad kita.

Andaikata yang di-Isra Miraj-kan itu hanya ruh Nabi Muhammad Saw saja, maka ayatnya akan berbunyi, subhanaalladzii asraa bi ruuhi ‘abdihii, Mahasuci Allah yang telah meng-Isra-kan ruh hambanya yang berarti tidak dengan jasadnya.

Seandainya memang yang di-Isra Miraj-kan oleh Allah itu hanya sekadar ruh Nabi Muhammad Saw saja, maka tidak akan terasa pernyataan Allah SWT dalam lanjutan ayat-Nya yang menyatakan, “li nuriyahuu min aayaatinaa” (Untuk Kami tunjukkan kepada manusia tanda-tanda kekuasaan Kami).

Terlepas dari itu semua, menurut Athian, bagi seorang mukmin, kita yakin bahwa segala sesuatu yang mustahil menurut akal kita, itu tidak mustahil menurut Allah Yang Mahakuasa. Hikmahnya bagi kita adalah, rasa optimis mesti selalu ada pada diri kita. Sehingga kalau kita dihadapkan pada suatu masalah yang sudah buntu atau tidak mungkin menurut akal kita, tetap saja kita “tidak akan” pesimis, “tidak akan” sampai putus asa.

Allah SWT telah mengingatkan kita melalui firman-Nya: “Jangan sekali-kali kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf, 12:87).

Dalam ayat ini rasa putus asa itu identik dengan kekafiran. Sebab orang yang putus asa itu berarti dia sudah tidak beriman atau tidak meyakini lagi bahwa Allah Yang Mahakuasa dapat mengubah segala sesuatunya. Padahal, tidak ada yang mustahil jika Allah SWT menghendakinya. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata kepadanya “kun”(jadilah) maka jadilah ia”(QS. Yaasiin, 36:82). Sebab itu, lanjut Athian, dengan adanya peristiwa Isra Miraj ini harus semakin menambah keyakinan kita kepada Allah SWT bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, serta memahami “hasil” yang dibawa dari perjalanan peristiwa ini adalah diperintahkannya kita menegakkan shalat fardlu lima waktu.*

Facebook
X
WhatsApp
Telegram